Menyibak Dunia Perempuan
الأحد، دجنبر 01، 2002
“Jikalau anda ingin melihat kesewenang-wenangan, ketidakadilan, diskriminasi, penghinaan, penyiksaan, kekejaman, kelaliman, kekerasan, dan lain semacamnya, tengok sajalah dunia perempuan”. (Fatima Mernisi dalam wawancara dengan Ahdas Al Maghribiah, 17 september 2002)
Mernisi tidak sedang menyuarakan pro blema bangsa sendiri. Pernyataannya diatas merupakan fenomena global dunia perempuan tingkat internasional. Perempuan bagaimanapun belum “dimanusiakan” oleh lawan jenisnya; perempuan makhluk kedua setelah laki-laki; dan atas nama perempuan, semua hak, kebebasan dan kemerdekaannya bisa saja dikebiri, dibatasi, atau bahkan dihapuskan sama sekali, mulai dari ruang lingkup terkecil keluarga, sampai pada urusan pelayanan umum.
Sejak PBB menetapkan UU persamaan hak laki-laki dan perempuan (1955), dan konvensi Wina menyepakati perlindungan terhadap sukarelawan yang bergerak di bidang ini, praktis isyu perempuan menyeruak sebagai isyu senter kedua setelah HAM. Lebih jauh, isyu tersebut menjadi momok demokratisasi yang menusuk ‘jantung’ tradisi kehidupan keluarga Arab dan Islam, yang umumnya hidup dalam corak masyarakat patrimonial.
Muncullah kemudian tokoh-tokoh feminis atau pejuang hak asasi perempuan. Di Pakistan ada Ali Asghar Angineer dan Rifat Hassan, di Indonesia ada Nursyahbani Kartjasungkana, di Mesir ada Nawal Sa’dawi dan di Maroko ada Fatima Mernisi. Mereka bukan hanya tampil dalam kapasitas sebagai pribadi, melainkan umumnya hadir sebagai lembaga yang diperkuat oleh tink-tank pusat-pusat kajian serius dan profesional. Keberadaannya pun bersifat internasional dengan tingkat loby dan jaringan yang global pula.
Maroko menjadi menarik, karena disinilah perkembangan dunia perempuan Arab mendapatkan tempat yang paling mengesankan. Di Maroko pula, muncul sederet tokoh feminisme Arab (lapis I, II, III, dst) yang siap go Internasional. Bahkan —menurut penelitian Dr. Badran—pusat-pusat kajian yang terdapat di Maroko bukan saja resmi, melainkan terinstitusikan sebagai yayasan atau menjadi pilihan jurusan pada universitas tertentu. Lebih dari itu —menurut pengakuan Mernisi—penguatannya bukan hanya dilakukan dari bawah, melainkan juga respon dari atas (kerajaan/negara). Dan terakhir, baik kerajaan maupun kalangan terpelajar, memandang kemajuan-kemajuan ahwal syahsyiah (aturan keluarga :khususnya tentang perempuan) sebagai bagian dari sebuah strategi kebudayaan.
Menjadi tampak logis kemudian, jika tantangan penguatan hak asasi perempuan yang paling mendasar di Maroko (ruang lingkup keluarga), berjalan mulus dan terlampaui dengan tanpa banyak hambatan. Berbeda dengan kasus yang terjadi di Mesir ataupun Pakistan. Sebaliknya, Maroko tinggal menunggu pencerahan asumsi sebagian kaum terpelajar dan masyarakat tradisionalnya, karena pangkal persoalan dunia perempuan lebih banyak berhubungan dengan masalah publik, sebagaimana yang terjadi di Indonesia pada batas-batas tertentu.
Pantas jikalau emansipasi kaum perempuan di Maroko sudah berjalan secara diam-diam sejak 20 tahun lalu. Dan tidak mengherankan pula jika kritik yang diarahkan pada gerakan penguatan hak perempuan tertuju kepada sosok pelaku dan jarang sekali menohok materi bahasan. Ini tentu disebabkan oleh latar belakang sosok pejuang perempuan yang umumnya kapabel dan memenuhi kapasitas sebagai ilmuwan Islam dan dunia internasional. Maroko dengan demikian menjadi produsen basis reinterpretasi persoalan perempuan dalam strategi penguatan hak asasi perempuan di tingkat global dan internasional.
Sehubungan dengan hal tersebut, paling tidak terdapat dua strategi utama yang mengantarkan kemajuan Maroko dalam penguatan hak perempuan. Pertama, reinterpretasi teks-teks hadis yang dipandang misoginis (merendahkan martabat perempuan). Masuk dalam strategi ini identifikasi penulis perempuan zaman keemasan Islam yang kontra pemikiran feminisme. Kedua, gerakan masuk kedalam berbagai lembaga taktis dan startegis yang membuat dan menentukan arah kebijakan perundang-undangan dan politik. Sementara aksi terjun lapangan, dan pendirian shelter, lebih berfungsi sebagai strategi lanjutan dari pada penguatan basis lapangan.§
posted by Deptartemen Media Informasi @ 2:12 م, ,
Meneropong Tradisi Perempuan Indonesia
Oleh : Dewi Ratnawulan Bachtiar
Apakah tradisi yang ada pada kaum perempuan Indonesia bisa dibawa ke alam modern?. Melihat situasi yang berkembang sekarang ini, saya melihat bahwa perempuan Indonesia sudah lebih maju. Hal ini bisa dilihat dari lingkup pekerjaan yang mereka geluti yang meliputi hampir pada seluruh bidang pekerjaan yang bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Sudah banyak perempuan yang tampil di segala bidang ilmu dan ketrampilan serta membuka kesempatan bagi perempuan lainnya untuk mencontoh keberhasilan yang sudah mereka gapai.
Memang anggapan yang memandang bahwa tradisi perempuan Indonesia masih mengakar pada pendapat bahwa perempuan bekerja bukan sebagai pencari nafkah utama terkadang masih terasa, walaupun banyak juga di dalam kenyataannya terdapat beberapa figur perempuan yang berpenghasilan lebih tinggi dari suaminya. Namun kebenaran anggapan ini menjadi nyata ketika kita melihat bahwa bila anak sakit tetaplah perempuan yang mengalah untuk meninggalkan pekerjaaannya. Perempuan juga tetap berusaha untuk menyiapkan makanan dan menyiapkan keperluan suami walaupun mereka berdua sama-sama bekerja.
Saya mendefinisikan kata modern disini bukanlah berarti dalam pengertian bahwa perempuan ingin disamakan haknya dengan laki-laki tanpa memperhitungkan fitrahnya sebagai perempuan. Tetapi adalah lebih baik bila perempuan bekerja, pekerjaannya tersebut mendapatkan penghargaan baik oleh suami, keluarga dan lingkungan sosialnya. Pendefinisian disini saya pandang penting, karena terkadang masih terdapat pemikiran yang berpandangan bahwa modernitas perempuan berarti penyamaan haknya dengan laki-laki. Sehingga didasari oleh alasan ingin bekerja sepanjang tahun, terdapat beberapa kelompok kaum perempuan yang enggan mengandung atau mengurus anak, padahal meneruskan keturunan dan memelihara anak merupakan kewajiban bagi perempuan yang tidak bisa diganggu gugat.
Dilain pihak, karena perempuan seringkali dianggap sebagai mahluk yang lemah, maka bila mereka bekerja terkadang tidak mendapatkan hak yang semestinya (upah yang layak dan fasilitas kesehatan yang minim) dan bahkan tidak jarang terdapat pembedaan dengan laki-laki hanya dengan dasar kodrat kelaki-lakian dan keperempuanannya. Banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan perempuan dengan asumsi: kemungkinan untuk menuntut kepada perusahaan bila terjadi persengketaan sangat kecil (seperti upah yang layak dan fasilitas kesehatan yang cukup), sehingga kadangkala hal seperti ini disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memeras tenaga kaum perempuan untuk bekerja di pabrik dengan waktu istirahat yang pendek.
Kaum perempuan juga tidak bisa sepenuhnya mempergunakan waktunya untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya di luar rumah (tidak seperti laki-laki), karena perempuan harus membagi waktu untuk dirinya dalam memikirkan keluarganya terutama anak-anak. Mengingat fitrahnya sebagai perempuan, maka kaum perempuan memiliki berbagai kelebihan, misalnya perempuan lebih sabar, lebih bisa mengatur waktu, lebih perhatian, tidak emosinal, dan lain sebagainya. Sehingga nampaknya akan lebih baik bila perempuan yang ingin bekerja tidak meninggalkan fitrahnya sebagai perempuan dengan mencari bidang pekerjaan yang sesuai dengan kelebihan yang dimilikinya sebagai perempuan.
Akan lebih baik lagi jika perempuan mengambil bidang pekerjaan yang waktunya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga tidak melupakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, karena tetaplah yang lebih dituntut dalam membimbing anak dan mengawasinya adalah kaum perempuan. Mungkin kaum perempuan akan lebih cocok berprofesi sebagai pendidik, psikolog atau hanya bekerja paruh waktu, sehingga kesempatan untuk memperhatikan dan mengasuh anak tetap ada dan tersedia sebagaimana mestinya.
Dengan demikian bagaimanapun berhasilnya kaum perempuan, tetaplah yang dilihat adalah: apakah mereka berhasil juga menjadikan generasi penerus yang tangguh yang berbudi pekerti luhur, atau tidak. Jadi terasa sia-sia apabila perempuan berhasil di bidang pekerjaannya sementara anak-anaknya kehilangan kasih sayang, sehingga mereka gagal menjadi generasi penerus yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah antara lain tugas terberat kaum perempuan yang harus direnungkan.
Kemodernan kaum perempuan di negara-negara maju, tentu belum lah sesuai dengan kepribadian kita sebagai perempuan Indonesia. Sehingga biar bagaimanapun, banggalah kita sebagai perempuan Indonesia yang masih bisa bekerja di luar rumah dengan tetap menghormati suami (sebagai kepala keluarga) dan keluarga, sebab yang kita lakukan berdampak baik bagi diri sendiri (menambah wawasan), keluarga, dan lingkungan sekitar kita.§
posted by Deptartemen Media Informasi @ 2:02 م, ,
Secerah Cahaya Islam
Kontemplasi
Entahlah, apakah ini yang bernama intuisi, atau apapun namanya. Yang jelas kemunculannya bermula dari gerak hati berupa mbatin atau lewat mimpi yang lantas menjadi kenyataan. Pernah ketika seorang dosen saya bercerita tentang Fontana Di Trevi Italia, saya mbatin suatu saat akan ke sana, yang kemudian ternyata saya benar-benar menginjakkan kaki di sana. Pernah pula dengan nada agak kesal, saya berkata kepada ibu: “… biarin deh, nanti saya kawin aja sama orang Irian”, yang kemudian seloroh itu berarti saya menyertai tugas pertama suami ke Irian. Pernah saya berpikir betapa indah jalan yang bernama Casablanca di Jakarta ini, rupanya saya dapat menyaksikan Casablanca yang asli di Maroko. Saat pertama kali bertemu (calon) suami, saya juga sempat mbatin: “Kayaknya orang ini yang akan jadi suami saya”, dan ternyata, kata hati (batin) saya tersebut menjadi benar adanya. Demikian juga empat kali saya bermimpi ada burung merpati, dalam kenyataannya empat kali pula saya mengandung.
Dari berbagai hal yang bersifat pribadi tersebut, yang barangkali agak menarik adalah proses masuk Islamnya I Wayan Arta (Wayan) yang kemudian menjadi suami saya, dari agama semula Hindu. Saya merasa segala sesuatunya berjalan normal dan biasa-biasa saja. Saya mengenalnya pada 1984 ketika kami sama-sama mengenyam pendidikan di Aksara (Akademi Sandi Negara). Sebagai seorang muslimah, tentu saya membatasi diri berteman dengan seorang laki-laki, apalagi agamanya lain. Tapi karena Wayan adalah anak buah paman saya, maka jarak yang memisahkan kami berdua serasa agak cair. Apalagi dalam beberapa kesempatan karena kesibukannya, paman saya meminta kepada Wayan untuk mengantarkan saya pulang.
Singkat kata kami menjadi dekat, tetapi karena kami menyadari lain agama, maka bagaimanapun tembok pembatas itu serasa nyata. Setiap bertemu, selalu saja kami mendiskusikan tentang agama. Bahkan Wayan pernah menyatakan pendapatnya bahwa semua agama ibaratnya bagai “mata air”, sumber utamanya sebenarnya sama. Akan tetapi keyakinan agama Islam yang terpatri dalam hati, yang saya pelajari di Madrasah Diniyah kelas 1-5, bersamaan dengan sekolah saya di Sekolah Dasar kala itu, menjadikan saya kukuh dengan Islam. Pokoknya kalau mau dengan saya syaratnya harus muslim, apalagi syarat tersebut juga menjadi syarat utama yang diajukan keluarga saya.
Rupanya sejak 1984 itu, Wayan sudah ada perhatian pada Islam, tapi tidak berani bertanya, padahal teman-temannya waktu itu kebanyakan orang Islam. Pernah dia cerita, iri kepada teman-temannya yang tekun shalat, lalu dia ikut- ikutan rajin sembahyang sesuai keyakinannya waktu itu. Tapi, katanya, lama-lama dia tidak bisa bertahan dengan ke- rajin-an itu. Bahkan, ketika tiba bulan Ramadhan, dia ikut teman-temannya berpuasa (ikut makan sahur, tidak makan siang, dan makan malam bersama teman-temannya yang berbuka puasa). Kalau ditanya, kenapa ikut berpuasa, katanya untuk toleransi saja.
Saya sendiri tidak tahu persis, bagaimana prosesnya, pada 1987 Wayan resmi menjadi seorang muslim dan lantas melamar saya untuk menjadi istrinya. Perjalanan keislamannyapun setelah itu (setelah menikah) juga berjalan biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Pelajaran pertamanya setelah masuk Islam adalah sebuah buku kecil, yang saya punya waktu itu, berjudul Kunci Ibadah karya Zainal Abidin dan corat-coret saya berupa bentuk huruf-huruf hijaiyah. Pernah saya sarankan supaya ikut Pengajian di mana bapak saya menjadi gurunya, tapi dia tidak mau. Alasannya, nanti saja kalau sudah bisa baca tulisan Arab. Kadang dia ngajak saya jalan-jalan di Kwitang untuk cari buku pelajaran agama. Ada beberapa buku dasar yang menjadi panduan kami, antara lain Tuntunan Shalat, Terjemah Al Qur’an Departemen Agama, Freemasonry (buku perbandingan agama Yahudi).
Enaknya, Wayan menerima logika; dalam beragama tetap harus masuk akal dan dia suka bandingkan dengan agamanya dahulu (Hindu). Ada juga beberapa masukan pendukung yang suka kami ikuti seperti ceramah subuh KH. Qasim Nurseha dan Ridwan Nasution di Radio Kayumanis, juga rubrik Kisah Pengalaman Pribadi pada Harian Berita Buana.
Dengan sedikit pengetahuan agama yang saya punya, alhamdulillah saya tidak mengalami kesulitan meng-guide proses keislaman Wayan, segalanya terasa mudah, selain dia sendiri mudah menerimanya. Dia suka bertanya jika melihat orang berbuat sesuatu (dalam tata cara ibadah, misalnya) yang dia belum pernah baca/dengar tata caranya. Dalam bulan Ramadhan, biasanya Wayan berusaha lebih giat beribadah seperti yang dilakukan orang pada umumnya dan sulit mengatur waktu, termasuk untuk urusan belanja baju anak- anak. Bahkan, ketika kami sudah berada di Jakarta sekembali dari penugasan di Irian Jaya, dia mempunyai kegemaran baru, bolak-balik ke Masjid Istiqlal. Saya sendiri tidak tahu persis, apa yang dia peroleh.
Demikianlah sekelumit potongan kisah keislaman Wayan yang bisa saya ceritakan ketika ditodong oleh Redaksi La Méditerranée yang-katanya-penasaran tentang hal itu. Tidak ada yang istimewa, namun saya berharap dengan menyampaikan sekilas kisah ini, ada manfaat yang bisa kita petik. Sekaligus saya mohon do'a para pembaca, semoga kami (dan kita umat Islam pada umumnya) ditetapkan Allah dalam Islam, diberikan kekuatan iman, senantiasa dapat memelihara serta meningkatkan ibadah kita kepada-Nya. Amin.§
posted by Deptartemen Media Informasi @ 2:00 م, ,
Diterbitkan Oleh:
La Mediterranee
Departement Penerbitan dan Teknologi informasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko Periode 2007-2008 ° Penanggung jawab/ Pimpinan Umum: Ketua PPI Maroko: Fauzan Adzim,S.S.I ° Wakil Pimpinan Umum: Arwani Syaerozi, MA ° Design & Layout : Asep Sutisna °Sirkulasi Keuangan : Achmad Suprapto °Distributor : Nasrullah Afandi, Lc.° Alamat Redaksi: 10, Rue Kouass Sect D Yac Al Mansour Kamra, Rabat telp: 0021237790474, hp: +21268916089
My profile
About This Blog
This blog is a multi-author blog devoted to illustration, art, cartooning and drawing. Its purpose is to inspire creativity by sharing links and resources. Albert Einstein said, “The secret to creativity is knowing how to hide your sources,” but what the hell did he know anyway? The site was conceived by John, like all good ideas, while goofing off at work.
Contact Us
This is an open source template, which means that you are free to use it in any way you want to without any obligations. If you decide to use this template, I kindly ask you to leave the "Design by Andreas Viklund" link in the footer. I am also interested in seeing how my templates are used, so feel free to send me an e-mail with a link to your page. If you want more templates to choose from, check out the sites in the "Favorite links" menu to the right!
Good luck with your new design!